Minggu, 25 September 2011

Mengenal Budaya Sunda


Sunda terbagi menjadi tiga bagian ada Sunda Historis, Sunda Filosofis, dan Sunda Geografis. Sunda Historis merupakan orang Suku Sunda yang secara turun temurun mempunyai sejarah leluhur Sunda (keturunan). Sunda filosofis adalah orang yang mengamalkan ajaran (agama) Sunda meskipun secara keturunan ia bukan Suku Sunda dan tidak tinggal di wilayah Pasundan. Sunda Geografis adalah orang Suku Sunda yang secara geografis berdiam di wilayah Pasundan.
Kebudayaan Sunda terdiri dari tiga bagian Sunda Cirebonan, Sunda Kabantenan, dan Sunda Priangan. Asal mulanya Suku Sunda berawal dari Banten orang Suku Sunda asli berada di sana bahkan sampai sekarang pun masih ada yaitu Suku Baduy. Orang Suku Sunda asli tidak mengenal ‘undak unduk basa’ atau tingkatan-tingkatan bahasa, dan mereka juga menganut agama Sunda. Terdiri dari dua bagian juga, ada Suku Baduy luar dan Suku Baduy dalam. Suku Baduy luar dipimpin oleh seorang Ketua Adat (Kepala Suku) yang diberi nama Jaro, orang Suku Baduy dalam juga memiliki pemimpin sendiri yang di beri nama Puan. Sang Ketua Adat selain dipercayai sebagai orang yang memimpin upacara adat atau ritual-ritual yang biasa diadakan beliau juga mengemban tanggung jawab sebagai kepala pemerintahan. Dari kedua Suku Baduy itu dapat dibedakan dari pakaian keseharian yang dikenakan, Suku Baduy luar mengenakan pakaian hitam-hitam dan Suku Baduy dalam mengenakan pakaian putih-putih.
Aturan yang berlaku di dalamnya juga cukup ketat, seperti aturan wiwitan (panutan, seseorang yang wajib dituruti). Aturan wiwitan salah satunya adalah tritangtu yang terdiri dari tiga panutan yaitu :
1.      Rama (orang tua)
2.      Resi (guru)
3.      Prabu (pemerintah).
Salah satu adat yang masih mereka pertahankan saat ini adalah Kawalu, yaitu ritual puasa yang dilaksanakan pada tengah bulan kresna paksa setelah bulan puasa. Tidak seperti puasa pada biasanya, menahan haus dan lapar akan tetapi mereka menahan ucapan untuk tidak menceritakan tentang Suku Sunda, asal-usul kebudayaan ataupun hal-hal yang berhubungan dengan mereka. Ngabungbang juga merupakan sebuah tradisi Sunda yang dilaksanakan pada saat malam bulan purnama, mereka berdiam diri di luar bangunan rumah semalam suntuk, di tempat yang mereka yakini sebagai tempat keramat.
Berbeda dengan kebudayaan Sunda Cirebonan yang telah tercampuri dengan budaya Jawa pesisiran, secara geografis wilayah Sunda Cirebonan ada di jalur Pantura dan Sunda Priangan yang tercampuri oleh budaya Mataram terdapat di wilayah Priangan.
Saya sendiri termasuk Suku Sunda Priangan, tidak banyak aturan yang mengikat seperti di orang Sunda Kabantenan asli. Banyak adat yang sudah tercampuri budaya lain seperti halnya pakaian adat Sunda Priangan yang terdiri dari dua macam pakaian Alit (keseharian), mengenakan atasan kampret dan bawahan celana pangsi, dan pakaian Ageung (resmi, seperti untuk menghadap kanjeng dalem), mengenakan bendo, beskap (jas), kain batik panjang, sandal selop, dan membawa keris _lebih mirip dengan pakaian adat Solo­_. Bahkan bahasanya telah mengenal ‘undak unduk basa’ seperti orang suku Jawa.
Di daerah Priangan juga telah banyak adat yang secara berangsur mulai ditinggalkan seperti pakaian yang dikenakan, adat ngabungbang juga hanya orang-orang tua jaman dulu saja yang masih menjalankannya, bahkan kalaupun anaknya ditanya tentang adat itu ia akan menjawab tidak tahu sama sekali. Dulu di daerah Priangan sering diadakan Budaya Hajat Bumi seperti halnya Bersih Desa, semua orang berduyun-duyun pergi ke rumah Kepala Suku atau Kepala Desa lalu sama-sama berdoa, akan tetapi sekarang sudah tidak pernah dilakukan.
Namun untuk kesenian-kesenian Sunda masih banyak yang peduli untuk melestarikannya, bahkan sering sekali plesir (berkelana) ke penjuru tanah air sampai ke luar negeri seperti kesenian angklung.
Seiring dengan berjalannya waktu banyak budaya-budaya asing yang mulai masuk ke Indonesia semakin banyak orang yang mulai meninggalkan budayanya sendiri bahkan lupa dan tidak mau mengenalnya lagi, di nilai kuno dan sudah tidak zamannya lagi, sehingga malu untuk mengakuinya lagi. Mengikuti perkembangan zaman tidaklah di larang namun sebagai warga Negara Indonesia yang baik kita juga tidak diperkenankan untuk melupakan budaya kita sendiri.

Nara Sumber : Ki Demang Wangsyafyudin, SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar