Judul : Jalan Berliku Menjadi Orang
Indonesia (Kisah 7 perempuan Tionghoa korban diskriminasi)
Pengarang : Rebeka Harsono dan Basilius Triharyanto
Penerbit : Jakarta, PT.Gramedia (Kepustakaan
Populer Gramedia (KPU))
Cetakan
ke- : I, November 2008
Halaman
: 125 halaman
Buku ini mengisahkan tentang tujuh
orang Tionghoa di daerah Jakarta Barat. Bukan daerah yang terpencil ataupun
sulit untuk di temukan di peta tapi daerah tersudut di Ibu Kota Negara
Indonesia. Kisah-kisah ini mewakili perempuan Tionghoa lainnya yang mengalami
diskriminasi untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Mereka terkenal dengan sebutan Cina Benteng.
Awal dari kehidupan mereka di sana
bukan semata-mata turis asing berkeliling dunia dan menetap di suatu negara tapi
kehidupan mereka telah di mulai dari zaman penjajahan Belanda. Kebanyakan dari
mereka adalah keturunan ayah Tionghoa dan ibu Betawi. Kebanyakan dari ayah
mereka memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) apalagi
ibunya adalah warga pribumi asli,mereka juga terlahir di Ranah Indonesia namun
mereka tidak di akui menjadi warga Negara dan harus memiliki SBKRI sendiri. Dan
jika mereka tidak memiliki SBKRI sendiri mereka tidak dapat membuat KTP, surat
nikah, apalagi akta lahir untuk anak-anaknya kelak.
Seorang ibu dengan susah payah
mendaftarkan anaknya ke Sekolah Dasar dengan identitas KTP yang tidak sesuai
hanya karena ia tidak diperbolehkan memakai nama Tionghoa dan agamanya sengaja
dipalsukan untuk mendapat KTP itu dengan segera.
Di dalam buku ini juga dituturkan
oleh seorang perempuan bahwa anaknya yang sedang sakit liver kronis terpaksa
harus menghadiri persidangan hanya untuk memperlancar rencananya untuk membuat
selembar akta lahir padahal umur anaknya sudah 35 tahun semua itu hanya karena
ia tidak mempunyai SBKRI untuk membuat surat-surat.
Di sini juga diceritakan
perjuangan-perjuangan perempuan lainnya untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai
Warga Negara Indonesia. Meskipun sebenarnya mereka adalah Warga Negara
Indonesia asli namun hak-hak mereka selalu dibelakangkan seperti pengurusan
surat-surat yang dipersulit karena mereka hanya rakyat miskin biasa dan
berwajah oriental.
Dengan membaca buku ini mata kita akan
dibukakan akan fenomena yang kerap kali terjadi di Indonesia namun sering kali
ditutupi dari masyarakat untuk membuktikan bahwa pemerintah berhasil
menjalankan amanahnya. Namun sekarang fakta berbicara tidak.
Dapat kita renungkan di sini banyak
sekali perlakuan berbeda yang mereka terima baik itu dari pelayanan pemerintah ataupun
anggapan masyarakat tentang mereka hanya karna adanya stratifikasi sosial,
agama dan perbedaan ras yang menonjol, seperti matanya yang sipit dan kulitnya
yang putih.
Penuturannya lugas dan jelas tidak
mengada-ada atau bahkan ditutup-tutupi. Bahasa yang di gunakan pun seolah
mengajak kita untuk mendengar penuturan langsung dari perempuan-perempuan itu.
Originalitas cerita sangat dipertahankan disini.
Sayangnya mereka hanya menceritakan dari
satu sudut pandang saja sehingga saya rasa terjadi ketidakseimbangan. Untuk itu
alangkah lebih baiknya jika di cantumkan pula tanggapan dari pemerintah
mengenai hal ini.
Buku ini secara khusus di tujukan untuk
kalangan pemerintah agar mata mereka dibukakan untuk melihat diskriminasi yang
terjadi pada warganya sendiri. Dan sangat cocok untuk menguji kepekaan perasaan
kita terhadap sesama warga, mengapa harus dibeda-bedakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar