Minggu, 25 September 2011

Review : Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia


Judul              : Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia (Kisah 7 perempuan Tionghoa korban diskriminasi)
Pengarang      : Rebeka Harsono dan Basilius Triharyanto
Penerbit         : Jakarta, PT.Gramedia (Kepustakaan Populer Gramedia (KPU))
Cetakan ke-   : I, November 2008
Halaman        : 125 halaman


            Buku ini mengisahkan tentang tujuh orang Tionghoa di daerah Jakarta Barat. Bukan daerah yang terpencil ataupun sulit untuk di temukan di peta tapi daerah tersudut di Ibu Kota Negara Indonesia. Kisah-kisah ini mewakili perempuan Tionghoa lainnya yang mengalami diskriminasi untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Mereka terkenal dengan sebutan Cina Benteng.
            Awal dari kehidupan mereka di sana bukan semata-mata turis asing berkeliling dunia dan menetap di suatu negara tapi kehidupan mereka telah di mulai dari zaman penjajahan Belanda. Kebanyakan dari mereka adalah keturunan ayah Tionghoa dan ibu Betawi. Kebanyakan dari ayah mereka memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) apalagi ibunya adalah warga pribumi asli,mereka juga terlahir di Ranah Indonesia namun mereka tidak di akui menjadi warga Negara dan harus memiliki SBKRI sendiri. Dan jika mereka tidak memiliki SBKRI sendiri mereka tidak dapat membuat KTP, surat nikah, apalagi akta lahir untuk anak-anaknya kelak.
Seorang ibu dengan susah payah mendaftarkan anaknya ke Sekolah Dasar dengan identitas KTP yang tidak sesuai hanya karena ia tidak diperbolehkan memakai nama Tionghoa dan agamanya sengaja dipalsukan untuk mendapat KTP itu dengan segera.
           Di dalam buku ini juga dituturkan oleh seorang perempuan bahwa anaknya yang sedang sakit liver kronis terpaksa harus menghadiri persidangan hanya untuk memperlancar rencananya untuk membuat selembar akta lahir padahal umur anaknya sudah 35 tahun semua itu hanya karena ia tidak mempunyai SBKRI untuk membuat surat-surat.
Di sini juga diceritakan perjuangan-perjuangan perempuan lainnya untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Meskipun sebenarnya mereka adalah Warga Negara Indonesia asli namun hak-hak mereka selalu dibelakangkan seperti pengurusan surat-surat yang dipersulit karena mereka hanya rakyat miskin biasa dan berwajah oriental.
Dengan membaca buku ini mata kita akan dibukakan akan fenomena yang kerap kali terjadi di Indonesia namun sering kali ditutupi dari masyarakat untuk membuktikan bahwa pemerintah berhasil menjalankan amanahnya. Namun sekarang fakta berbicara tidak.
Dapat kita renungkan di sini banyak sekali perlakuan berbeda yang mereka terima baik itu dari pelayanan pemerintah ataupun anggapan masyarakat tentang mereka hanya karna adanya stratifikasi sosial, agama dan perbedaan ras yang menonjol, seperti matanya yang sipit dan kulitnya yang putih.
Penuturannya lugas dan jelas tidak mengada-ada atau bahkan ditutup-tutupi. Bahasa yang di gunakan pun seolah mengajak kita untuk mendengar penuturan langsung dari perempuan-perempuan itu. Originalitas cerita sangat dipertahankan disini.
Sayangnya mereka hanya menceritakan dari satu sudut pandang saja sehingga saya rasa terjadi ketidakseimbangan. Untuk itu alangkah lebih baiknya jika di cantumkan pula tanggapan dari pemerintah mengenai hal ini.
Buku ini secara khusus di tujukan untuk kalangan pemerintah agar mata mereka dibukakan untuk melihat diskriminasi yang terjadi pada warganya sendiri. Dan sangat cocok untuk menguji kepekaan perasaan kita terhadap sesama warga, mengapa harus dibeda-bedakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar