Mata redup itu menatapku tanpa ekspresi..
Pertama melihatnya dengan seragam coklat kedodoran di pojok kelas sambil mendekat ku bertanya, "Siapa namamu nak?", "Tira" jawabnya pelan agak merunduk..
Siswi kelas 1 SMP Antah Berantah itu adalah muridku..mulai hari ini setiap Sabtu aku akan bertemu dengan mereka. Ini memang sekolah swasta yang baru berdiri, namun jangan pernah membayangkan bahwa ini adalah sekolah swasta yang elit. Ini hanya sekolah sederhana yang didirikan Ua* ku (*kakak dari ibu), dengan tekad tidak ingin melihat anak SD putus sekolah hanya karna terbentur biaya, maka ia mendirikannya.
Pertama melihatnya dengan seragam coklat kedodoran di pojok kelas sambil mendekat ku bertanya, "Siapa namamu nak?", "Tira" jawabnya pelan agak merunduk..
Siswi kelas 1 SMP Antah Berantah itu adalah muridku..mulai hari ini setiap Sabtu aku akan bertemu dengan mereka. Ini memang sekolah swasta yang baru berdiri, namun jangan pernah membayangkan bahwa ini adalah sekolah swasta yang elit. Ini hanya sekolah sederhana yang didirikan Ua* ku (*kakak dari ibu), dengan tekad tidak ingin melihat anak SD putus sekolah hanya karna terbentur biaya, maka ia mendirikannya.
Semua keperluan sekolah mulai dari biaya SPP hingga baju dan buku
ditanggung sekolah. Ini adalah hari pertama aku memasuki ruang kelas
itu, sebuah ruang aula yang hanya di sekat papan tulis kapur itu terbagi
menjadi 3 bagian. Karna baru dirintis SMP ini masih harus berbagi ruang
dengan anak SD kelas 5 dan 3.
Ricuh suara dari 3 kelas yang ada dalam satu ruangan memaksaku
mengerahkan seluruh tenaga untuk berteriak saat berkenalan dengan siswa
siswiku. Berbagi sekadarnya, sebisaku. Untuk memulai berkenalan dengan
komputer kubawa peralatan seadanya. Sebuah laptop dan mouse kusiapkan.
Saat mengeluarkan peralatan dengan antusias mata mereka
membulat, ekspresi yang tak dapat kulupakan. Berbeda dengan muridku di
sekolah sebelumnya yang notabene sudah terbiasa dengan tablet, puyer dan
sebagainya..hihi
Latar belakang keluarga mereka memang tidak terlalu mapan, selain itu tempat tinggal mereka pun jauh dari perkotaan, melihat perangkat komputer saja bagi mereka sudah sangat luar biasa, apalagi saat ku ajak untuk menyentuhnya. Hampir semua berebut ingin dapat giliran pertama, hanya Tira dan Sari yang menarik perhatianku. Mereka duduk dengan tatapan bingung lalu diam-diam mengikuti temannya yang sudah lama mengerubungiku, | mereka berbeda | pemalu, pendiam.
Latar belakang keluarga mereka memang tidak terlalu mapan, selain itu tempat tinggal mereka pun jauh dari perkotaan, melihat perangkat komputer saja bagi mereka sudah sangat luar biasa, apalagi saat ku ajak untuk menyentuhnya. Hampir semua berebut ingin dapat giliran pertama, hanya Tira dan Sari yang menarik perhatianku. Mereka duduk dengan tatapan bingung lalu diam-diam mengikuti temannya yang sudah lama mengerubungiku, | mereka berbeda | pemalu, pendiam.
Kujelaskan satu persatu perangkat yang ku bawa. Bagaimana cara
menggunakannya dengan baik, sebelum mereka ku persilahkan mencobanya
sendiri. Betapa riangnya mereka belajar membuatku tak merasakan waktu
berlalu begitu cepat. Hingga pelajaran usai mereka tak henti berebut
mencoba menggerak-gerakan kursor mouse, geli melihatnya. Tapi itulah
anak-anak. Kutanamkan pada mereka, "Jangan pernah malu untuk mencoba,
jangan pernah ragu untuk memulai, jangan takut salah untuk
belajar.. Salah? Wajar.. Namanya juga belajar.."
To be continue..
To be continue..
Nah ini guru mulia, lanjutkan
BalasHapus