Minggu, 13 April 2014

Tira

Ketika mendengar kata cita-cita seorang anak TK mungkin masih belum mengerti. Seorang anak SD sedikit muluk mereka gantungkan harapan mereka setinggi langit, berbeda dengan anak SMP sedikit mengerti apa itu harapan dan apa itu kenyataan.
Di sebuah SMP yang rata-rata siswa nya bisa dibilang borjuis. Dengan uang saku yang dibawa mereka setiap hari lebih dari pendapatan gurunya per hari. Apalagi kendaraan yang mengantar jemputnya lebih bagus dari kendaraan kepala sekolahnya. Swedia, Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Bangkok, mudah bagi mereka berlibur kesana, bahkan beberapa murid pernah meminta ijin untuk pergi umroh ke tanah suci. Saat ditanya tentang cita-cita dengan ringan muridku berkata, aku ingin menjadi seperti ayah dan ibu seorang arsitek, aku ingin menjadi pengusaha, aku ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi direktur bank, aku ingin menjadi pilot, itu harapan yang tidak mustahil yang bisa mereka capai asal ada keinginan.
Jauh berbeda keadaannya dengan SMP Antah Berantah, andai mereka diberi kesempatan untuk berharap mungkin mereka juga memiliki keinginan yang sama. Harapan bagi mereka seperti permen karet, manis diawal setelah manisnya hilang harus dibuang. Melihat kenyataan dari keadaan yang mereka rasakan sehari-hari jauh dari harapan-harapan muluk itu. Di suatu sabtu, saat aku bersiap untuk mengajar di SMP Antah Berantah, mataku tertuju pada bangku kosong di pojok paling belakang. Aku hafal semua muridku karna hanya ada 11 orang di kelas itu. Spontan ku bertanya, "Tira kemana? Sakit kah?". Beberapa anak menjawab bergantian. "Udah bolos seminggu bu!". "Tengok yu bu!". "Gak ada kabar bu!". Karna keadaan semakin gaduh pertanyaanku pun ku sudahi saja.
Seusai mengajar, di ruang guru (maksudnya di sekat ruangan yang lain) sedikit berbincang dengan guru lain yang lebih sering berada di sekolah, bertanya mengenai Tira. "Bu katanya Tira sudah seminggu tidak masuk sekolah?" ucapku memulai perbincangan. Ibu itu menghela nafas sejenak kemudian menjawab, "Iya bu,sudah seminggu, sudah ditengok juga ke rumahnya." Dengan penasaran aku memberondongnya beberapa pertanyaan. "Tira sakit? Sakit apa? Parah?" Tapi dengan santai ibu itu menjawab lagi, "Nggak bu, dia kan malamnya narik becak cinta di alun-alun sampai larut, jadi saat pagi sampai siang dia tidur di rumah." entah harus merasa lega karna dia baik-baik saja atau merasa sedih karna alasannya hanya tertidur. "Saya merasa tidak enak kalau harus kembali menengok ke rumahnya Bu" lanjutnya. "Lha memang kenapa Bu?" tanyaku semakin penasaran. "Didepan mataku kepalanya dipukul oleh ibunya karna dia bolos sekolah. Ibunya bilang *ceuk aing ge maneh teh sakola..ameh pinter..ek jadi naon atuh maneh teh?!*" semakin prihatin aku mendengarnya. "Tapi hal seperti ini bukan terjadi untuk pertama kalinya Bu, saat masih SD dia sudah sering bolos sekolah karna alasan yang sama." rasa penasaranku terhadap Tira semakin membuncah, anak seperti apa dia, bagaimana keluarganya, apa pekerjaan ayah ibunya, kenapa dia tidak mau sekolah, dan masih banyak pertanyaan lainnya yang mengelilingi kepalaku.
Tiba-tiba ingatanku terbentur pada cerita Ua saat membujukku untuk mengajar di SMP Antah Berantah, "Saat perkenalan dan pemberian motivasi Ua tanya sama anak-anak, apa cita-cita kalian? Tira dengan polosnya bilang cita-citanya adalah menjadi tukang sapu di jalan. Karna ibunya adalah seorang PNS yang ditugaskan untuk menyapu sampah di jalan."
"Bu...baik-baik aja kan?" tangannya menepuk bahuku, menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya tak apa.." jawabku singkat sambil bergegas pamit untuk pulang.
To be continue...

*kamu itu harusnya sekolah..biar pintar..mau jadi apa kamu?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar