Kamis, 17 April 2014

Takdir itu Pasti, Sukses itu Pilihan

Ah..ada yang penasaran kelanjutan kisah Tira, sampai ikut narik becak..hihihi
Mati listrik..momen yang pas buat nulis..
Menceritakan kisah Tira sama dengan menceritakan penyesalan yang dalam. Kenapa saya tidak banyak membantu, ah...tepatnya kenapa saya tidak melakukan apapun pada Tira. Andai lebih banyak waktu dihabiskan bersama mereka, andai ada kesempatan mengulang momen itu, andai dan andai terus berkelebat dalam pikiranku.
 Terlepas dari kisah Tira, bukan hanya biaya yang menjadi faktor utama seseorang menjalankan wajib dikdas 12 tahun atau menentukan rata-rata lama sekolah, tapi juga motivasi. Bukan sekedar iming-iming di selembar kertas melainkan sebuah pendekatan. Contoh iming-iming, diberikan beasiswa penuh dan uang saku bagi 10 siswa berprestasi dengan syarat nilai rata-rata diatas 75, pernah menjuarai perlombaan, dan seterusnya..diutamakan bagi anak kurang mampu. Sempat terlintas, wah..kasian sekali anak yang tidak mampu, rata-rata nilai dibawah 50, keinginan belajar kurang, dukungan dari keluarga atau lingkungan juga kurang..lengkap sudah! Bisa baca, tulis, dan menghitung juga sudah hebat!
Teringat sebuah cerita dalam novel Burlian karya Tere Liye, didalamnya menceritakan seorang guru bernama Pak Bin. Membaca kisah Pak Bin membuat saya malu, merasa belum pantas menerima apa yang saya dapatkan sekarang. Kegigihannya, ketulusannya, kejujurannya, sungguh pendidik yang hebat! Menginspirasi, memotivasi, bijaksana, begitulah pendidik seharusnya.
Kembali pada kisah Tira, seperti pada novel Burlian keinginan Tira untuk bersekolah (belajar) sangat kurang. Pendidikan gratis yang diberikan tidak memberikan motivasi positif padanya untuk belajar di sekolah. Pikiranku kembali berandai-andai. Andai aku melakukan hal seperti yang dilakukan Pak Bin di novel itu, mungkin keadaannya berbeda sekarang.
Sabtu berikutnya aku kembali tak dapat bertemu dengan Tira, teman-temannya bilang, "Mungkin dia takut di tagih hafalan surat kali bu, soalnya dari senin sampai jumat kemarin sih masuk" lagi-lagi aku tidak melakukan apapun. Hanya mengangguk-angguk dan menuliskan huruf A di lembar kehadiran. Hari itu ulangan harian aku membagikan lembar soal, memimpin doa, lalu mengawasi mereka mengerjakan soal itu. Tidak ada yang aneh, mereka tertib mengerjakannya tanpa banyak bicara apalagi tengok kanan kiri. Tapi saat memeriksa hasilnya.. aku tak kuasa menahan tawa, takkan kuceritakan sekarang mungkin di lain kesempatan..hihihi
Sabtu selanjutnya saat Ulangan Tengah Semester (UTS) Tira hadir, ya dia duduk di bangku biasanya ia duduk. Mengerjakan soal tanpa banyak bicara, seperti biasanya diam tanpa kata. Andai setelah itu..ah sudahlah..
Langsung ku periksa lembar jawaban ulangan mereka, beberapa murid andalanku si ketua kelas yang cerdas, si bandel rahmat, dan si crewet idar mendapat nilai yang cukup memuaskan. Lain kali kuceritakan 3 murid spesial itu. Mataku tertuju pada lembar jawaban Tira. Sesuai prediksi nilainya tidak terlalu baik. Tapi bukan nilainya yang mengganggu pikiranku melainkan tulisannya saat menjawab soal essai. Bagaimana mungkin seorang anak kelas 1 SMP untuk menuliskan sebuah kata saja masih belum bisa. Bukan saya tidak bisa membaca tulisannya, tapi setiap kata yang ditulisnya selalu kurang beberapa huruf.
Karna sabtu berikutnya saat remedial UTS Tira kembali tidak hadir, lembar jawaban tersebut saya berikan pada Bu Cahya. Setelah berbincang sejenak dengannya dari situlah saya tau kenapa tulisan Tira kehilangan huruf-hurufnya. "Bu, Tira memang seperti itu. Dia agak kesulitan dalam membaca, menulis, dan menghitung" dalam hati saya bertanya-tanya kenapa? "Dari SD dia memang jarang masuk seperti sekarang bu, malah lebih parah. Pernah dia tidak masuk sekolah selama 3 bulan." Mataku membulat, kaget, antara percaya dan tidak percaya. "Maaf bu, kalau kejadiannya seperti itu, kenapa dia bisa lulus SD?" Tanyaku, Bu Cahya menjawab singkat "Saya tidak tahu bu".
Sabtu depannya guru yang biasanya mengajar tahfidz berhalangan hadir. Meskipun sedikit terpaksa saya mengambil alih kelas itu.
Kebetulan Tira hadir saat itu. Tanpa ampun aku menyuruhnya untuk melengkapi catatan selama ia tidak hadir, tugas remedial, dan tugas-tugas lainnya. Hari itu dia super sibuk. Sampai pelajaran TIK berakhir tugasnya mencatat belum juga selesai. Saat yang lain bersiap-siap untuk menyetorkan hafalan suratnya padaku, kuberi ia kesempatan untuk berhenti sejenak. "Sudah, menyalin catatannya dilanjutkan di rumah saja. Sekarang siapkan hafalanmu." Dia membenahi bukunya lalu terdiam. Aku tak begitu memperhatikan apa yang dilakukannya kemudian karna sibuk mendengarkan hafalan anak yang lain. Sampai tiba giliran Tira. "Baik Tira, surat apa yang belum kamu hafalkan?" Tanyaku sembari bersiap-siap mencatat. Tapi ia hanya terdiam, temannya berbisik. "Bu Tira belum setor satu surat pun." Okey..pertanyaannya ku ganti. "Kalau seperti itu coba ibu mau dengar satu surat yang Tira hafal." Ia membuka mulutnya berkomat kamit seperti membaca ayat Al-Qur'an tapi tak dapat terdengar suaranya. Selain pelan suara gaduh anak-anak yang bermain di kelas membuat telingaku sedikit budek. Akhirnya ku ajak Tira ke sekat yang lain dan menyuruh anak lainnya beristirahat di luar kelas. Bukan anak-anak namanya kalau mendengarkan kata gurunya, beberapa anak malah mengikutiku ke sekat lain dan duduk manis seperti siap-siap menonton film di depan layar kaca. Tapi ya sudah lah yang penting tidak gaduh.
"Teruskan Tira, tadi ibu tidak dengar." Terbata-bata, tidak jelas surat apa yang dibacanya akhirnya saya bertanya. "Sudah bisa membaca Al-Qur'an?" Jawaban yang sebenarnya tidak ingin aku dengar, tapi ia ucapkan "Belum". Astaghfirullah..desisku dalam hati, ingin rasanya mengelus dada menenangkan pikiranku tapi tak kuasa melakukannya dihadapannya. Akhirnya aku bawa buku iqra dan mengajarinya mulai dari jilid 1. Alhamdulillah 2 halaman dengan terbata-bata selesai. Ku pesankan padanya untuk mempelajarinya lagi di rumah.
Ingin rasanya mendekatinya lebih jauh, bersamanya lebih lama, berbincang dengannya lebih banyak tapi tak bisa. Ah..apa kabarnya sekarang dia di sana. Apa sudah bisa menulis dengan benar? Apa sudah sekolah dengan rajin? Apa sudah bisa membaca Al-Qur'an? Apa yang bisa kulakukan dari sini?
Tira bukan anak yang bodoh. Catat itu baik-baik. Ia hanya tidak mengambil kesempatannya untuk sukses. Tira seperti itu bukan karna takdirnya mencatat seperti itu tapi karna ia memilih untuk seperti itu. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bodoh, mereka hanya tak mau berusaha. Hidup mati setiap manusia itu sudah ditakdirkan Tuhan, sekeras apapun kita mengubahnya tak akan pernah bisa. Tapi proses kita menjemput kematian, proses kita menjalani hidup, itu adalah pilihan, sukses atau gagal? Itu juga pilihan. Kegagalan adalah proses kita menjadi sukses, bukan akhir dari semuanya. Jangan pernah menyerah, dengan menyerah kita tidak akan pernah tau apa itu sukses. Semangat! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar